Sebagai hadiah Malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan di atas mega dan aku menolak, karena kakiku masih di bumi…
Oleh: Nanang Sumanang |
Tanamonews.com - Kuntowijoyo dalam Daun Makrifat, Makrifat Daun, 1995. Peraih hadiah Nobel bidang kesusastraan tahun 1990 dari Mexico, Octavio Paz, mengatakan bahwa peradaban dan kebudayaan yang besar, agung , abadi dan mencerahkan adalah peradaban dan kebudayaan yang profetik (kewahyuan).
Peradaban dan kebudayaan yang tersambung dengan spiritual dan kesadaran perlunya wahyu-wahyu kenabian menjadi landasan dan inspirasi dari segala macam gerakan peradaban dan kebudayaan.
Kuntowijoyo, seorang sastrawan, ilmuwan dan akademisi menawarkan dan memperjuangkan Ilmu Sosial Profetik, suatu resep kajian yang mencoba mengurai kesalahan ilmu pengetahuan yang gagal membawa manusia pada kesejahteraan hakiki serta obatnya.
Secara bahasa, profetik yang sudah diIndonesiakan adalah adjektiva, bentuk kata sifat, nomina atau pronominal yang berkenaan dengan kenabiaan atau ramalan. (KBBI online)
Sementara Heddy Shri Ahimsa Putra (2011) mengartikan profetik yang berasal dari bahasa Inggris Prophetic, berarti; berkaitan dengan seorang Nabi atau inspirasi kenabian, dan mempunyai fungsi dan karakter Nabi atau bersifat prediktif.
Nabi yang berasal dari kata “Naba” (Bahasa Arab) yang berarti warta dan Nabi sebagai pewarta, atau orang yang membawa berita. (surat an-Naba)
Musa al-Asy’arie dalam Filsafat Islam tentang Kebudayaan (1999) mengatakan bahwa kata nabi selalu dinisbatkan kepada al-Nubuwah, al-Nabawat dan al-Nabi yang berarti tanah yang tinggi, jalan yang dijadikan petunjuk dan orang yang diistimewakan karena kemampuannya.
Selain itu misi Nabi itu sendiri adalah; mengingatkan tentang kemanusiaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME, makhluk yang mulia dengan segala potensi yang ada, memberikan alternatif (solusi) jalan keluar problem manusia, memberikan kabar gembira (mubasyiriin) dan kabar menakutkan (mundziriin) baik yang sudah lalu, maupun yang prediktif masa depan.
Al-Qur’an sendiri bercerita bahwa setiap bangsa sudah diutus seorang Nabi atau Rasul, dan Allah SWT, Tuhan yang Maha Adil tidak akan pernah mengazab suatu kaum sebelum diutus kepadanya seorang Nabi atau Rasul.
“Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul mereka, diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikit pun) tidak dianiaya. (Yunus: 47)
Abu Umamah dan Abu Dzar pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang berapa jumlah Nabi dan Rasul. Radulullah SAW menjawab bahwa jumlah para Nabi itu 124.000 Nabi, dan dari mereka sebanyak 315 adalah Rasul Allah. Banyak sekali (HR Ahmad). Ini mengartikan bahwa benar setiap bangsa sudah diutus Nabi. Atau sekalipun belum ada Nabi secara personal di kaumnya, maka sesungguhnya berita tentang tauhid uluhiyah dan rububiyah Allah SWT telah sampai kepadanya.
Akhirnya profetik tidak bisa dinisbatkan hanya pada suatu golongan atau suatu cabang keilmuan saja, tetapi menyangkut seluruh kegiatan manusia. Maka tidak heran kita mendengar istilah-istilah: ilmu hukum profetik, ilmu sosial profetik, peradaban profetik, ilmu pengetahuan profetik, ekonomi profetik, pendidikan profetik dan sebagainya yang mengarahkan manusia agar melihat dirinya sebagai makhluk yang universal yang utuh, yang tahu darimana dia datang, apa yang harus diperbuat di muka bumi ini dan kemana akan menuju (Sangkan paraning dumadi).
Gerakan profetik lahir dari kegagalan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat yang tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan manusia. Manusia menjadi sangat terasing dengan sesamanya, yang kalau menurut Maslow sebagai “Sains dan teknologi melihat manusia hanya sebuah benda fisik (impersonal) atau seonggok daging yang menafikan psikis dan spiritualnya”.
Atau kata Ali Shariati : Sains dan teknologi telah menjadikan manusia terbelenggu sistim yang sifatnya sangat mekanis dan sangat kejam yang akhirnya membuat manusia menjadi sakit secara kejiwaan dan tidak membahagiakan”
Fenomena Hikikomori pada masyarakat modern di Jepang, hanyalah sebuah puncak es saja, dan sebenarnya banyak manusia yang menjadi kesepian, dan menderita di tengah keriuhan dan persaingan masyarakat di belahan bumi lainnya.
Ada tiga teori yang menarik dalam kajian ilmu sosial profetiknya Kuntowijoyo yaitu humanisasi (memanusiakan manusia sebagai makhluk Tuhan yang merdeka), liberasi (memerdekakan manusia dari kotak-kotak kebudayaan) dan transendensi (memberi makna manusia hidup kepada dirinya sendiri dan kepada alam sekitarnya dengan berpatokan dan bertujuan kepada nilai-nilai ketuhanan). Kalau boleh menggunakan filsafat barangkali ketiga teori profetik-nya Kuntowijoyo adalah; ontologi, epistimologi, dan terakhir aksiologi.
Untuk bisa memahami ketiga teori tersebut secara utuh, ketiganya haruslah dilihat sebagai sebuah lingkaran yang saling berhubungan dan saling menguatkan, tanpa memperdebatkan dimana awal dan akhirnya.
Pendidikan sebagai sebuah media sosialisasi tertua setelah keluarga tentunya harus bisa membuat manusia bahagia, berarti, dan berkemajuan. Perubahan dan perbaikan kurikulum adalah upaya menjawab tantangan jamannya, agar tujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Merdeka belajar yang sudah dicanangkan untuk melahirkan pelajar Pancasila, serta visi pendidikan Unesco 2050 dimana intinya penghormatan kepada keberagaman dan berkolaborasi menghadapi masa depan, disiapkan untuk menghasilkan manusia yang bisa merawat bumi, mempunyai spiritual yang tinggi, intelektual yang cerdas, mental yang baik dan moral yang diterima oleh masyarakatnya dan masyarakat dunia.
Tujuan pendidikan nasional kita yang tercantum dalam Undang Undang No 20 Tahun 2003 Pasal 3 adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, serta menghasilkan manusia yang al mushowir “pelukis” peradaban manusia paripurna/ insan kamil, pendidikan profetik harus mengambil spirit dari surat al-Hasyr ayat 22-24, yaitu mengawali segala sesuatu harus menafikan kepentingan-kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan ke-ikhlashan karena Allah, dan berakhir untul mencari ridlo Allah SWT.
Husniyatus Salamah Zainiyati dalam bukunya Pendidikan Profetik (2020) mengatakan bahwa pendidikan profetik harus berdasar kepada; Sosial kerakyatan, inklusif dan multikultural, integrative dan interkonektifitas, gerak kreatif, menyenangkan dan mendisiplinkan.
Sosial kerakyatan, artinya pendidikan untuk seluruh rakyat dan untuk memenuhi kebutuhan riil manusia.
Dasar inklusif dan multikultural, berarti pendidikan harus bisa menghargai perbedaan. Disinilah pentingnya seorang murid pada kelas rendah diajarkan dengan menggunakan bahasa ibunya, dimana nanti akan timbul kecintaan dan identitas budaya murid yang kuat, untuk saling menghormati dan saling bekerjasama (alhujurat : 13). Kita tidak bisa bayangkan harta kekayaan intelektual bangsa Indonesia, bahasa ibu, yang telah lahir dari proses pergumulan kebudayaan yang panjang harus dikalahkan oleh bahasa nasional dan bahasa internasional.
Integratif dan interkonktifitas. Pendidikan tidak boleh melakukan dikotomi antar pengetahuan dan nilai, antara transfer pengetahuan dengan transform nilai dan karakter, antara praktek dan teori. Islamphobia merupakan hasil dari dikotomi ilmu pengetahuan, dimana sejarah, perjuangan dan kepribadian Muhammad SAW hanya dipelajari dalam sejarah Islam. Atau KH Ahmad Dahlan yang begitu besar jasanya dalam mencerdaskan bangsa lewat Muhammadiyahnya hanya dikenal oleh warga Muhammadiyah karena KH Ahmad Dahlan hanya dipelajari dalam Kemuhammadiyahan.
Gerak kreatif adalah dasar ke-empat pendidikan profetik, dasar ini bertujuan agar pendidikan selalu menyatui dengan alam yang selalu bergerakdan berkembang. Guru dan murid terus bergerak kreatifitasnya bersama-sama sesuai denagn hukum alam, yang nantinya akan melahirkan kebermanfaatan. Gerak yang tidak dibatasi oleh status sosial, kepangkatan, derajat guru besar atau guru kecil, yang ada hanyalah saling menghormati dan berkolaborasi. Karena gerak kreatif adalah wujud ibadah dari seorang hamba kepada Tuhannya.
Dasar ke-lima adalah menyenangkan dan mendisiplinkan. Pendidikan harus mendatangkan kesenangan bagi guru dan muridnya. Secara umum pendidikan profetik akan menggali dan mengembangkan semua potensi baik spiritual, intelektual, mental, moral dan fisik guru dan murid dengan penuh kegembiraan.
Penanaman nilai, budaya, kerjasama, penghormatan kepada orang lain bisa dimulai dengan memperkenalkan dan mengajak bermain kembai bersama permainan-permainan (dolanan) anak-anak. Dolanan anak-anak yang sangat bagus sekali untuk mengembangkan spiritual, intelektual, mental, moral dan fisik anak-anak. Untuk selanjutnya kolaborasi dan penghormatan terus dikembangkan agar pendidikan bisa menyenangkan dan mendisiplinkan.
Pendidikan profetik harus lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan lokalitas, tetapi bernilai internasional dan universal dan mengenalkan manusia dengan kemanusiaannya yang menjadikan manusia berbahagia. (in)
0 Komentar