Oleh: Masrul Purba Dasuha, S.Pd
Tanamonews.com | Nagur merupakan suatu kerajaan kuno (ancient kingdom) yang pernah berdiri di Sumatera Utara sebagai awal dimulainya periode sejarah di kalangan masyarakat Batak Timur yang sering disebut orang Hataran atau Simalungun.
Menurut penuturan Tuan Subirman Damanik tinggal di Durian Banggal Kecamatan Raya Kaheian (sesuai keterangan yang diperolehnya dari naskah kuno Nagur), Terbentuknya kerajaan ini diawali sejak kehadiran seorang tokoh kesatrya dari India bersama para pengikutnya.
Mereka berasal dari golongan bangsa Munda yang datang dari sekitar dataran tinggi Chota Nagpur sebelah timur India meliputi negara bagian Jarkhand, Chhattisgarh, Benggala Barat, Bihar, dan Odisha (dulu Orissa), hingga daerah Assam.
Pustaha Nagur menyebut tokoh kesatrya tersebut dengan Darayad Damadik, gelar lainnya adalah Narama. Dia adalah seorang penganut Hindu Waisnawa pemuja Dewa Wisnu. Bahkan gelar yang disandangnya diambil dari nama Dewa Narayan yang dalam mitologi Hindu adalah nama lain dari Dewa Wisnu.
Dalam bahasa Sanskerta "Naara" berarti air atau entitas hidup dan "Ayana" adalah tempat istirahat, karena itu disebut "Naarayana" yang berarti tempat istirahat bagi semua entitas hidup.
Hubungan dekat Narayana dengan air menjelaskan penggambaran Narayana dalam seni Hindu sedang berdiri atau duduk di samudera. Pengejawantahan penting dari Narayana adalah "Maha Menjadi yang merupakan dasar dari semua orang".
Di Simalungun, gelar Narayan ditambah dengan Namanik sehingga penyebutannya menjadi Narayan Namanik yang bermakna "Naibata parsimada tondui pakon sipaulak tondui" (Dewa pemilik entitas hidup dan pengembali entitas hidup).
Rakyat Nagur meyakini bentuk kepala Narayan seperti kepala burung enggang dan tubuhnya dibalut dengan jubah putih. Oleh rakyat Nagur, burung enggang diyakini sebagai reinkarnasi dari Narayan Namanik.
Pada zaman dahulu, Narayan Namanik biasa dipanggil untuk menghidupkan orang yang baru meninggal (siluk matei) agar hidup kembali, dengan membaca mantera (tabas) yang berbunyi: "Narayan Namanik, roh ma ham sipaulak tondui"sebanyak 1.200 kali.
Setelah orang yang meninggal itu hidup kembali, sebagai tebusan ditanamlah pisang sitabar jantan di pinggir halaman dan pisangunsim jantan di pinggir ladang. Usia kehidupannya tergantung dari usia pisang yang ditanam tersebut, bila pisang itu mati, maka manusia itupun akan ikut mati.
Pada ujung lidah Darayad ditumbuhi sejumlah bulu sehingga dia sulit untuk menyebut huruf "N", dia pun menyebut Narayan Namanik dengan Darayad Damadik. Nama ini kemudian menjadi gelar baginya dan Damadik perlahan mengalami perubahan bunyi menjadi Damanik.
Tuan Subirman Damanik menceritakan bahwa sang Darayad Damadik meninggalkan India akibat terjadi rodi membangun sebuah istana dan tempat pemujaan (parsinumbahan) yang mempekerjakan manusia dan juga kawanan hewan.
Para hewan diperintah untuk mengangkut bebatuan dari Mesir untuk diboyong ke India, proses pembangunan istana dan tempat pemujaan ini akhirnya berujung konflik. Untuk menghindari pertikaian yang terjadi, Darayad Damadik lantas memilih meninggalkan tanah kelahirannya, beserta isteri tercintanya seorang puteri Mongol dan para pengikutnya, mereka pun pergi meninggalkan India, dengan menaiki sebuah kapal besar mereka mengarungi samudera luas.
Kapal mereka kemudian terdampar di pesisir Selat Malaka, mereka lalu mendaratkan kapal mereka di daerah Pagurawan (Pargurouan) masuk Kabupaten Batubara sekarang. Dari tempat ini, dia beserta rombongannya perlahan masuk ke pedalaman melalui sungai Suka - Laut Tadur - Liang Tanggiripan (Parbatu/Tebing Tinggi) - Sorba Jahei terus ke hulu melalui Bah Balandei - Mariah Nagur - Dolog Simbolon - Sorba Dolog - Dolog Simarsolpah - Raya - Dolog Bah Rubei - Dolog Tinggi Raja - Parti Malayu - Dolog Siandorasi - Partibi Ganjang - Saran Tolbak dan akhirnya mereka sampai di Nagori Banua Sokkur.
Tidak lama kemudian empat orang puteranya dari India datang menyusul, namun salah seorang saudari mereka tetap berada di India karena sudah menikah. Mereka berangkat dari India disertai tiga orang teman mereka, yaitu Naraga (Sinaga), Narasi (Purba), dan Narasag (Saragih).
Setelah beberapa lama berdiam di Sokkur, ketiganya kemudian menikah dengan cucu Darayad Damadik. Dari sini diketahui bahwa Darayad Damadik merupakan perintis jalan (si rottos dalan) bagi kehadiran leluhur marga Sinaga, Purba, dan Saragih ke tanah Simalungun.
Di samping sebagai pemimpin, Darayad Damadik juga memiliki kemampuan di bidang pengobatan (partambaran), selain mengobati kaum manusia dia juga mampu mengobati penyakit yang diidap hewan. Dia memiliki sebuah alat tiup yang disebut Salohap terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai alat untuk mengundang hewan yang hidup di darat maupun di air untuk datang kepadanya.
Meskipun dia bersahabat dengan sejumlah hewan, namun dia lebih serasi memelihara ayam, sementara Naraga dan kedua temannya Narasi dan Narasag lebih cocok memelihara gajah, kerbau, dan anjing.
Darayad Damadik mengakhiri masa hidupnya didampingi isterinya ketika melakukan pertapaan di Liang Sigundaba, sepeninggalnya sosoknya dipuja dan menjadi tokoh yang dikeramatkan. Pengkultusan terhadap sosok Darayad Damadik ini berkaitan dengan konsep Hindu-Buddha yang mengenal istilah "dewaraja", di mana seorang raja dipuja dan dianggap memiliki sifat kedewaan (keilahian) yang bersumber dari Dewa Siwa atau Dewa Wisnu.
Bentuk pemujaan ini kemudian berkembang luas di Asia Tenggara yang diperkenalkan oleh para pengembara dari India. Konsep dewaraja dibentuk melalui ritual keagamaan yang dilembagakan dalam pranata kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Asia Tenggara.
Hal ini memungkinkan raja untuk mengklaim dirinya memiliki wewenang ilahiah yang bisa digunakan untuk memastikan legitimasi politik, mengelola tatanan sosial, menata aspek ekonomi, dan agama.
Hal ini juga digunakan untuk menjaga ketertiban sosial, memuliakan raja sebagai dewa hidup yang pastinya menuntut pelayanan dan pengabdian maksimal dari rakyatnya.
Seiring dengan itu, sistem kasta sebagaimana yang diterapkan di India turut diperkenalkan untuk menata masyarakat berdasarkan kelas sosialnya.
Konsep ini juga terkait dengan Cakrawartin, istilah yang digunakan dalam agama Dharma (Hindu-Buddha) untuk merujuk kepada seorang penguasa jagat yang ideal, seorang maharaja yang bijaksana dan welas asih kepada seluruh makhluk di dunia.
Sepeninggal sang raja biasanya didirikan monumen maupun patung yang bertujuan untuk menghormati dan memuliakan sang raja yang telah wafat. Secara politik, gagasan ini merupakan suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan.
Nama Nagur berasal dari perpaduan kata "Na + Agur" yang berarti gelar bagi seorang pemimpin yang gagah berani, benar, adil, dan bijaksana. Namun sejumlah sejarawan ada juga yang mengkaitkan nama Nagur dengan Chota Nagpur dan juga kota Nagore yang ada di India.
Kerajaan ini berdiri ratusan tahun kemudian sepeninggal Darayad Damadik, terbentuknya kerajaan ini diawali oleh perpaduan sejumlah kampung yang pada suku Simalungun dibagi ke dalam beberapa bagian meliputi huta, nagori, dan urung.
Pasca berdirinya kerajaan, dipilihlah suatu lokasi sebagai pusat kerajaan yang disebut dengan pamatang. Nama Nagur pertama kali masuk dalam catatan sejarah yaitu pada almanak (annals) Dinasti Sui (581-618 M) salah satu kekaisaran di Tiongkok penerus dari Dinasti Jin dan peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sebagai penggantinya.
Almanak tersebut meriwayatkan tentang transaksi perdagangan bilateral antara Nagur dengan Dinasti Sui di perairan sungai Bah Bolon dekat Kota Perdagangan.
Sebagaimana hasil penelitian Sutan Martuaraja Siregar, guru sejarah di Normaal School Pematang Siantar, dia melihat Nagur sebagai sebuah Kerajaan Batak yang didirikan orang Simalungun dan menjadi pusat penyembahan berhala (Priests Kingdom of Batak Pagan). Dengan adanya budidaya rambung merah (Sim: balata/Latin: Ficus Elastica) yang dikembangkan masyarakat Nagur, sehingga mengundang bangsa Tiongkok dari Dinasti Sui untuk membeli hasil sumber daya alam Nagur yang dibutuhkan sebagai kedap air (water-tight) bagi kapal-kapal dagang mereka.
Pada waktu itulah pihak Tiongkok mendirikan kota pelabuhan Sang Pang To di tepi Sungai Bah Bolon, sekitar 3 Kilometer dari kota Perdagangan sekarang. Mereka banyak meninggalkan batu-batu bersurat di pedalaman Simalungun yang kini telah lenyap akibat penggusuran oleh pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pada zaman Belanda.
Tidak jauh dari tempat ini, ada satu lokasi yang pada zaman dahulu jadi tempat ritual pemujaan roh leluhur bernama Dolog Sinumbah, sebelum kehadiran Belanda di tempat ini terdapat banyak kuil dan candi Buddha, ada satu situs candi yang berhasil diselamatkan pada waktu penggusuran oleh pihak Belanda sewaktu mendirikan pabrik dan perkebunan (situs candi ini kini disimpan oleh keluarga marga Purba di Medan).
Nakhoda Persia, Buzurug bin Shahriyar Al-Ramhurmuzi saat lawatannya ke pulau Sumatera pada tahun 955 M mencatat adanya suatu kerajaan bernama Nakus yang mengacu pada Nagur.
Keterangan lainnya juga datang dari Marco Polo (1271-1295), seorang pengembara dari Venesia, Italia pada tahun 1292 pernah mengunjungi sejumlah pulau di pesisir Sumatera, di antaranya adalah Dagroian yang tidak lain adalah Nagur, yang letaknya berada di Pidie (Aceh) sekarang.
Marco Polo menceritakan kebiasaan masyarakat Dagroian yang kanibal dan larut dengan praktik genosida. Masyarakatnya benar-benar primitif dan penyembah berhala. Kemudian pada awal abad ke 13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a di bawah kuasa Sriwijaya.
Antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum ada kaitannya dengan Batak. Batak yang dimaksud di sini merujuk pada Nagur, karena pada masa itu Nagurlah satu-satunya kerajaan Batak.
Sementara itu, Niccolo de’ Conti seorang pedagang dan penjelajah dari Venesia, Italia pada tahun 1430 berkunjung ke Sumatera dan tinggal selama setahun di kota Sciamuthera (Samudera Pasai) dan pada tahun 1449 dia pertama kalinya menemukan jejak masyarakat benama “Batech”.
Dia mengatakan di bagian tertentu di pulau Sumatera terdapat sebuah tempat bernama Batech, penduduknya memangsa daging manusia. Mereka terus-menerus berperang dengan tetangga mereka, tengkorak musuh mereka disimpan sebagai harta kemudian menjualnya untuk memperoleh uang.
Lain dari pada itu, Tomé Pires seorang apoteker dan kepala gudang rempah-rempah Portugis di Malaka, dalam karya terbesarnya Suma Oriental (Dunia Timur) yang ditulis pada tahun 1512-1515.
Buku tersebut memberikan banyak informasi berharga mengenai keadaan nusantara pada abad ke-16, dia menyebut Sumatera dengan Camotora sebuah daerah yang luas dan makmur terdapat banyak emas, kapur barus, lada, sutera, kemenyan, damar, madu, minyak tanah, belerang, kapas, dan rotan.
Selain itu, Sumatera juga memiliki banyak padi, daging, ikan, dan bermacam-macam minyak, tuak termasuk tampoy yang mirip anggur di Eropa. Dia mengatakan Sumatera (Samudera) adalah ibukota dari Pasai.
Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas para pedagang asing di pesisir timur, yaitu Batta (di selatan Pasai) yang memiliki komoditi utama rotan, lalu Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan kemenyan, dan terakhir Arcat (antara Aru dan Rokan).
Dia mencatat nama raja yang memerintah di Kerajaan Batak adalah Tomyam yang identik dengan nama Tamiang, seperti pernah diberitakan Castanheda juga seorang penjelajah dari Portugis bahwa Raja Tamiang adalah menantu dari Raja Aru.
Selanjutnya Duarte Barbosa seorang penulis dan penjelajah dari Portugis pada tahun 1516, mencatat adanya sebuah kerajaan di sebelah selatan pulau Sumatera yang menjadi penghasil utama emas dan di pedalaman lain ada Aru yang berdekatan dengan negara Batta, penduduknya kafir yang gemar makan daging manusia terutama yang mereka bunuh dalam perang.
Diteruskan oleh Joao de Barros juga seorang berkebangsaan Portugis pada tahun 1563 kembali menyebut tentang Batak dalam misi penjelajahannya. Dia adalah seorang sejarawan Portugis yang cukup terkemuka. Dalam laporannya dia menyebutkan sebuah penduduk pribumi di bagian pulau yang berlawanan dengan Malaka yang disebut Battas, mereka memakan daging manusia, sangat buas dan merupakan masyarakat yang paling gemar berperang dari seluruh negeri yang pernah dia jelajahi.
Demikian juga pada saat Augustin de Beaulieu seorang jenderal Perancis pada tahun 1619-1622 memimpin ekspedisi bersenjata menuju India Timur, dia mengunjungi sejumlah daerah sekitar Aceh dan semenanjung Malaya.
Dia menyebut sebuah penduduk pedalaman yang merdeka dan memiliki bahasa yamng berbeda dengan Melayu. Mereka menyembah berhala dan memakan daging manusia, tidak pernah ada tahanan yang ditebus tapi dimakan dengan menggunakan lada dan garam.
Namun, Beaulieu tidak secara spesifik menyebut nama penduduk yang dia temui, dia melihat mereka tidak memiliki agama, tetapi sudah mampu mengembangkan konsep pemerintahan dan menguasai beberapa negara.
Dari kriteria dan watak penduduk pedalaman yang digambarkan oleh Beaulieu ini jelas mengacu pada suku Batak dan Batak yang dimaksud adalah Simalungun yang pada masa itu dibawah kuasa Raja Marompat.
Informasi tentang Nagur mengemuka kembali dari laporan 2 orang penerjemah Laksamana Cheng Ho (Zheng He), yaitu Ma Huan dan Fei Xin. Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal datang mengunjungi Pasai berturut-turut dalam tahun 1405, 1408, dan 1412, pada masa inilah kedua orang penerjemah sekaligus pembantunya merekam keberadaan Nagur yang berada di Aceh.
Ma Huan dalam bukunya Yingya Shenglan diterbitkan tahun 1416 menceritakan bahwa Raja Nagur (那孤兒 = Na Ku Erh) dinamakan Raja Muka Bertato, menduduki kawasan sebelah barat Sumentala (Samudera Pasai).
Sementara di sebelah barat Nagur berbatas dengan Litai (黎代) dan Lambri (南渤利 = Lan Bo Li), jadi posisi Nagur berada di antara Lidai dan Samudera. Wilayah yang mereka duduki hanya terdiri dari satu desa yang berada di pegunungan, penduduknya merajah wajahnya dengan tiga panah hijau, inilah yang melatarbelakangi munculnya sebutan Raja Muka Bertato.
Jumlah penduduknya hanya sekitar seribu keluarga, sistem pertanian yang dikembangkan relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Jenis tanaman pertanian adalah padi gogo, binatang ternak yang mereka usahakan adalah babi, kambing, unggas, dan bebek. Tidak ada produk yang diekspor karena merupakan negeri yang relatif kecil.
Bahasa dan busana yang mereka gunakan sama dengan masyarakat di Samudera Pasai. Dari pemetaan yang dilakukan oleh penulis letak dari Nagur ini berada di sekitar Pirada (Peudada sekarang) masuk Kabupaten Bireuen Aceh sekarang hingga Pidie. Litai, oleh pengelana lain sering juga disebut Lide, barangkali yang dimaksud adalah Lingga yang berada di Aceh Tengah.
Sedangkan menurut hasil dokumentasi Fei Xin yang dimuat dalam bukunya Xingcha Shenglan yang diterbitkan tahun 1436. Nagur merupakan wilayah Negara Muka Bertato (花面國 = Hua Mian Guo) berbatasan dengan Sumatera dan meluas hingga ke Laut Lambri. Wilayah kedudukannya terletak di daerah pegunungan.
Di tengah cuaca yang bervariasi, masyarakat Nagur mampu mengolah sawah mereka dengan baik sehingga mampu menghasilkan beras dengan jumlah memadai.
Tidak jauh berbeda dengan keterangan Ma Huan di atas, Fei Xin juga mengatakan bahwa para kaum pria memiliki kebiasaan merajah wajah mereka dengan gambar bunga beserta hewan.
Rambut mereka yang panjang dibiarkan terurai, bagian atas tubuh dibiarkan terbuka hanya bagian bawah mengenakan sehelai kain. Sementara kaum wanita mengenakan sehelai kain berwarna dan rambut bersanggul di belakang.
Binatang yang mereka ternakkan diantaranya sapi, kambing, unggas, dan bebek. Kehidupan mereka berlangsung harmonis, tidak pernah ditemukan ada upaya penindasan dari pihak yang kuat terhadap golongan yang lemah.
Antara kaum bangsawan dengan rakyatnya tidak dibatasi jurang pemisah, mereka bersama-sama mengolah lahan demi kemajuan daerah mereka. Tidak ada kesombongan dari golongan orang yang kaya terhadap mereka yang miskin sehingga tindakan kriminal seperti pembunuhan dan pencurian sangat jarang terjadi.
Selain memproduksi bahan pangan, tanah subur yang mereka duduki juga ditumbuhi sejumlah tanaman wewangian dan bunga teratai (tunjung biru). Di kawasan pegunungan banyak terdapat belerang, selain itu mereka juga mengembangkan budidaya ulat sutera dan industri tembikar, dan lain sebagainya.
Pada saat kunjungan ini, Laksmana Cheng Ho menyerahkan hadiah dari Kaisar China kepada Raja Nagur dan sejak itu pihak Nagur selalu mengirimkan upeti kepada Kaisar China yaitu Lonceng Cakra Donya.
Dalam buku Yingya Shenglan juga diriwayatkan bahwa Raja Samudera Pasai (蘇門答剌 = Su Men Ta La) pernah diserang oleh Raja Nagur dan berhasil terbunuh dengan panah beracun.
Karena puteranya masih kecil dan belum sah untuk meneruskan tahta, maka Ratu Su Men Ta La lantas bersumpah membalas dendam kematian suaminya. Ia membuat sayembara yang isinya menyatakan bahwa ia bersedia menikah dan memerintah bersama siapa saja yang sanggup membalaskan dendamnya.
Seorang nelayan tua bersedia mengemban tugas tersebut, dengan berani ia memimpin pasukan guna menewaskan raja Nagur. Dengan dibantu prajurit Su Men Ta La, nelayan tua ini berhasil membunuh Raja Nagur, akibatnya pasukan Nagur mundur dan menyerah kalah.
Nelayan ini kemudian menikah dengan Ratu Su Men Ta La, keduanya memerintah bersama dengan gelar Raja Tua. Pada tahun 1409, ia berangkat ke China untuk menyerahkan upeti kepada kaisar China dan kembali ke negerinya pada tahun 1412.
Putera raja sebelumnya ternyata tidak setuju dengan pengangkatan Raja Tua sebagai pengganti ayahnya, ia lantas bersekongkol dengan para bangsawan guna menghabisi nyawa Raja Tua.
Akibat kematian Raja Tua, kemenakannya bernama Su Gan La (蘇幹剌 = Su Gan La) berniat membalas dendam kematian pamannya, ia kemudian mengumpulkan para pengikut dan melarikan diri ke pegunungan.
Tidak lama kemudian pada tahun 1415, Cheng Ho pun datang ke tempat ini dan menangkap Su Gan La. Atas bantuan yang diberikan Cheng Ho, putera raja merasa sangat berterima kasih dan sebagai balas jasa ia kemudian terus menerus mengirim upeti ke Tiongkok.
Indikasi tentang eksistensi Nagur mencuat kembali dari catatan Ferdinand Mendez Pinto (1509-1583), barangkali ia orang Eropa pertama yang pernah pergi ke pedalaman utara Sumatra.
Dalam karyanya berjudul Peregrination, ia mencatat kunjungan delegasi raja Batak tahun 1539 kepada kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria. Ia melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibukotanya bernama Panayu.
Ia juga mengisahkan tentang peperangan sengit antara Aceh di masa pemerintahan Raja Ali alias Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Qahhar (1537-1569) dengan seorang Raja Batak (Tuan Anggi Sri Timur Raja) dibantu oleh iparnya yang tampil sebagai panglima perang bernama Aquarem Dabolay (Anggaraim Nabolon Saragih Garingging) dari Partuanon Raya.
Peperangan ini berlangsung selama dua babak, pada perang pertama dengan mengandalkan ketangguhan panah beracunnya, Nagur berhasil memukul mundur pasukan Aceh dan mengejarnya hingga sampai ke pegunungan yang dinamai Cagerrendan (Cagar Ardan, pen), di sanalah selama 23 hari pasukan Batak mengepung sisa pasukan Aceh yang masih bertahan.
Singkat cerita kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian damai. Namun tidak berselang 2 setengah bulan, Aceh melanggar perjanjian tersebut dan berniat melakukan pembalasan. Adanya bala bantuan 300 orang Turki menjadikan Aceh semakin bersemangat melawan Raja Batak.
Pihak Aceh lalu mensiasati strategi bagaimana agar penyerangan mereka tidak menyebar luas dan diketahui Raja Batak. Lantas dibuatlah suatu dalih bahwa Raja Aceh akan berkunjung ke Pasai, tetapi ternyata tidak ke Pasai melainkan menyerang dua buah kampung Batak bernama Jacur dan Lingua.
Dalam penyerangan itu, Aceh berhasil menewaskan 3 orang putra Raja Batak dan tujuh ratus orang hulubalang yang merupakan prajurit terbaik sekaligus orang yang dimuliakan di Kerajaan Batak.
Sebagai sebuah kerajaan yang besar dan kuat, Nagur sempat mengalami kejayaan selama lebih dari seribu tahun, di masa keemasannya wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari Aceh di utara dan Riau di selatan hingga masuk ke pedalaman Danau Toba di barat dan perairan Selat Melaka di sebelah timur.
Adapun lokasi yang menjadi pusat pemerintahan Nagur (pamatang), para peneliti sejarah Simalungun umumnya menyepakati bahwa lokasi awal yang menjadi ibukota Kerajaan Nagur berada di sekitar Pamatang Kerasaan sekarang masuk Kecamatan Pamatang Bandar tidak jauh dari kota Perdagangan, hal ini dibuktikan dengan adanya konstruksi tua bekas Kerajaan Nagur dari hasil ekskavasi yang dilakukan oleh para arkeolog (Holt 1967:26; Tideman, 1922:51).
Sungai Bah Bolon yang berada di hilir daerah ini menjadi pelabuhan Nagur, di mananya alirannya terus sampai ke Selat Melaka. Lokasi lain yang diindikasikan pernah menjadi pusat Kerajaan Nagur adalah Partimalayu, Nagur Usang, Tiga Dolog, Tiga Runggu, dan Naga Raja. Tuan Subirman Damanik menjelaskan pada masa Raja Nagur terakhir istananya dibangun di tiga tempat, pertama di Parti Malayu yang didiami oleh permaisuri yang pertama, kedua di Raya, dan ketiga di Mariah Nagur.
Biasanya perkampungan Nagur berada tidak jauh dari perairan, ada 3 tipikal pemukiman yang wajib didirikan oleh Raja Nagur, pertama bernama Silaon yang menjadi lokasi pemujaan kepada para luluhur, kedua Sigundaba menjadi tempat pemujaan bagi para panglima (puanglima) dan hulubalang (parsaholat), dan ketiga dinamakan Sigintora, lokasi ini dijadikan tempat pemujaan para panglima dan hulubalang untuk menghalangi datangnya penyakit dan menghalau musuh. Lokasi untuk balai pertemuan dengan para raja dipusatkan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja).
Pada seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara yang diadakan di Perlak Aceh Timur tahun 1980, sejarawan Anas Macmud menyampaikan makalahnya, dia menceritakan secara singkat tentang Nagur sebuah kerajaan pedalaman yang wilayahnya sangat luas dan selalu bergandengan dengan Haru dan Pasai.
Untuk membuktikan keberadaan Nagur, dia menyebutkan nama-nama tempat di Simalungun seperti Nagur Usang, Nagur Bayu, Parhutaan Nagur di Tiga Dolog dan Tiga Runggu.
Dia juga menyinggung tentang Panai, sebuah kerajaan tua yang tercatat dalam "Tanjore Inscription" yang dibuat pada masa Raja Rajendra Chola I dan berangka tahun 1030 M. Dalam hubungannya dengan Panai, dia juga menyebutkan tentang banyaknya nama Panai di Simalungun.
Pada masa kejayaannya, selain dengan Tiongkok, Nagur juga pernah menjalin interaksi perdagangan dengan Kerajaan Persia memperdagangkan komoditi ular tikar (balun bigou/bidei) untuk dijadikan permadani yang dilatih agar bisa terbang dan membawa dua orang di punggungnya. Ukuran ular ini 7 meter dan lebarnya 1,5 x 3 meter.
Bukti adanya pengaruh budaya Persia ke tanah Simalungun, diantaranya banyaknya ditemukan terminologi "bandar", terminologi Persia ini kemudian diabadikan menjadi nama pemukiman di Simalungun seperti Mariah Bandar, Marihat Bandar, Bandar Masilam, Pamatang Bandar, Nagori Bandar, Bandar Huluan, Bandar Kaheian, Bandar Buntu, Bandar Silou, Bandar Jawa, Bandar Tongah, Bandar Tinggi, Bandar Siantar, Bandar Hataran, Bandar Manik, Bandar Hinalang, Bandar Tongging, Bandar Maruhur, Bandar Nagori, dan Bangun Bandar.
Dalam Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai suatu kerajaan yang kaya dan jaya, di mana ibu negerinya (pamatang) memiliki benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbangnya disebut "layar-layar" terbuat dari "Tumbaga Holing" dan gemboknya terbuat dari perak.
Sementara Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda seperti yang dituturkan Tuan Alep Damanik menyatakan bahwa istana Raja Nagur berada di Tolbak Pargambirian.
Pada zamannya, daerah Nagur terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya dan menjadi komoditi yang sering diperdagangkan kepada kerajaan dan bangsa lain dari luar Sumatera, seperti rotan, damar, sena, gaharu, nibung, jelutung, merbau, rambung merah (balata), dan juga produsen madu yang berlimpah yang dibudidayakan dengan memanfaatkan pohon rambung merah dan kayu raja (tualang) sebagai sarang lebah madu (huramah).
Madu yang diperdagangkan Nagur terbagi dua, ada madu lebah yang terasa manis dan ada juga madu lalat (bonbon) yang terasa asam manis. Sarang madu yang disebut hotihoti juga turut diperdagangkan, sarang madu ini digunakan untuk pembungkus obat, logam berharga, dan untuk bahan baku lilin.
Tempat penyimpanan obat dan barang berharga biasanya ditaruh dalam lubang tanduk atau lubang tulang hewan dan bambu (abalabal), setelah di tutup rapat bagian luar ditempeli sarang madu.
Adapun getah rambung merah biasanya digunakan untuk merekatkan kulit kayu gaharu untuk membuat kain, getah yang akan diperdagangkan diolah dengan cara batang-batang rambung merah dibelah berkeping-keping getahnya dibiarkan mengalir. Tiga minggu kemudian karet tersebut dikelupas lalu ditaruh dalam peti, di atas getah tersebut diletakkan kayu besar untuk menekannya dan dibiarkan selama tiga minggu agar semuanya merekat menjadi satu.
Getah rambung merah juga diolah untuk jadi minyak tanah dengan cara dicairkan, getah damar dimasak dicampur dengan air perasan serai (sanggesangge) dan air perasan buah jarak (dulang) yang sebelumnya ditumbuk halus.
Setelah getah cair dapat digunakan sebagai minyak tanah. Pihak Nagur juga menjual getah dari kayu damar yang dibungkus dengan pelepah pinang dan juga sihat (lempengan seperti damar yang berasal dari semut biasanya digunakan untuk perekat gagang pisau dan obat muntaber).
Komoditi alam ini kemudian diangkut melalui sungai dan sering memanfaatkan goa yang ada di pinggir sungai sebagai gudang dan transit sementara sebelum sampai ke laut. Setelah sampai di laut, para saudagar Nagur juga memanfaatkan pulau-pulau kecil seperti pulau Batu Beranak dan pulau Pandan sebagai gudang dan juga pelabuhan.
Kerajaan Nagur pada zaman dahulu terkenal sebagai tempat mencari penghidupan (pangaldungan) bagi para penduduk baik di lingkungan Nagur maupun dari luar Nagur.
Raja Nagur sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya, tidak ada penindasan dan kesewenangan dari keluarga bangsawan terhadap golongan yang lemah, meski sistem pemerintahan yang dijalankan bersifat feodal, namun kebenaran sebagai falsafah hidup tetap menjadi pedoman dalam menjalankan pemerintahan.
Falsafah hidup "Habonaron Do Bona Hajungkaton Sapata" sudah mengejewantah dalam kehidupan orang Simalungun sejak lama. Keselarasan hubungan yang diwujudkan dalam penerapan falsafah adat "Tolu Sahundulan Lima Saodoran Waluh Sabanjaran" menjadi pilar perekat antara rakyat dengan para pemimpinnya.
Di bawah kekuasaan Raja Nagur, rakyatnya hidup aman, damai, dan sentosa, keselamatan mereka terjamin, kekayaan alam melimpah, dan ketersediaan bahan pangan memadai, semua inilah yang mendasari rakyat Nagur hidup sejahtera.
Raja Nagur juga menjalin persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga seperti Sriwijaya dan Panai, ketika Panglima Indrawarman bersama pasukannya datang ke Simalungun dalam rangka misi ekspedisi Pamalayu, Raja Nagur memanfaatkan jasa para pasukannya dari kalangan suku Jawa berjumlah 1.000 orang untuk ditugaskan memindahkan bagian hulu sungai Bah Humpawan ke sungai Bah Ambalotu.
Sebelum melakukan pengerjaan, mereka mengadakan perundingan di Talun Parhuppuyan (Dolog Tinggi Raja). Sungai Bah Ambalotu diperbesar bertujuan agar dapat mengairi persawahan di sekitar aliran sungai tersebut sampai ke Dolog Masihol. Mereka menamakan sungai tersebut dengan Ambalotu mengikuti nama sungai Ambalotu di Asahan, anak sungai Silou yang menjadi basis seluruh bala tentara Jawa. Peristiwa ini juga mengawali munculnya nama kampung Saribu Jawa di Simanabun, Silou Kahean.
Dalam pustaha Nagur tercatat sejumlah nama tokoh yang menjadi ingatan di kalangan keturunan Nagur, seperti Sang Majadi Damanik, Saduk Dihataran Damanik, Sang Mahiou Damanik, Jigou Dihataran Damanik, Sangma Doriangin Damanik, dan puteri Anggaraini boru Damanik.
Dalam Pustaha Parmongmong Bandar Sahkuda dikisahkan bahwa Sang Ni Alam disebut Raja Pasir Samidora (Samudera Pasai) menikah dengan puteri Raja Nagur, Sang Majadi Damanik yang bernama Sang Mainim, karena isterinya enggan memeluk Islam lalu memutuskan pergi meninggalkan Pasai dan kembali ke Kerajaan Nagur. Akibatnya meletus perang tanding antara Raja Pasir Samidora dengan Raja Nagur.
Adapun cabang-cabang marga Damanik yang hidup di zaman Nagur adalah Damanik Nagur, Rampogos, Sola, Malayu, Sarasan, Rih, Hajangan, Simaringga, Usang, dan Bayu.
Kemudian keturunan Damanik yang mendiami pulau Samosir kembali hijrah ke tanah Simalungun, seperti Limbong, Sagala, Malau, Manik, Ambarita, dan Gurning.
Pada masa terjadinya pergolakan di lingkungan Kerajaan Nagur, rakyatnya banyak mengungsi ke Pulau Samosir untuk menyelamatkan diri, proses migrasi ini terjadi sekitar tahun 1200 Masehi.
Pendapat ini didukung oleh hasil penggalian arkeologi yang diadakan oleh Badan Arkeologi Medan beberapa tahun lalu di Sianjur Mulamula, tempat ini oleh orang Toba diyakini sebagai asal mula leluhur mereka Si Raja Batak.
Dari hasil ekskavasi dan penggalian tersebut diketahui ternyata Sianjur Mulamula baru dihuni manusia sekitar 600 (/+-200) tahun yang lalu. Kepala Balai Arkeologi Medan Ir. Ketut Wiradyana, M.Si menegaskan bahwa Pusuk Buhit tidak pernah menjadi tempat hunian karena wilayah tersebut dianggap sakral.
Pada abad 13, kerajaan ini mulai mengalami kemunduran pasca berkembangnya Kerajaan Haru, Perlak, dan Pasai, persaingan kekuasaan semakin sengit dan peperangan juga kian marak.
Para penguasa-penguasa baru ini sangat berperan dalam merongrongkan Nagur, akibatnya Nagur semakin terpuruk. Nagur yang sebelumnya sempat mengalami kelumpuhan akibat serbuan Kerajaan Chola dari India Selatan yang datang menyerang ke pulau Sumatera selama 2 kali yaitu tahun 1017 dan 1025 Masehi.
Seperti yang direkam oleh penjelajah asal Maroko, Abu Abdullah Muhammad bin Batuthah (1304-1368) yang berkunjung ke Samudera Pasai tahun 1345 Masehi, kemudian meneruskan perjalanannya ke Kanton Cina lewat jalur Malaysia dan Kamboja.
Dia mengisahkan akibat dari agresi Chola terhadap Nagur, kerajaan ini menjadi porakporanda yang mengakibatkan daerah taklukannya banyak yang memerdekakan diri.
Pihak Chola mengetahui bahwa Kerajaan Panai yang berpusat di Padang Lawas dan Nagur di Simalungun merupakan kerajaan yang kuat dan cukup berpengaruh di pulau Sumatera dan menjadi sekutu dari Sriwijaya yang sama-sama penganut agama Buddha.
Pada prasasti Tanjore, Nagur disebut dengan Nakkawaram, kerajaan yang memiliki kebun madu berlimpah. Keturunan Damanik Sola yang berdiam di Pulau Batu Beranak saat diserang pasukan Chola, Raja Nagur lalu memerintahkan agar membalas serangan itu dengan senjata panah beracun (sior ipuh).
Pasukan Nagur mengejar bala tentara Chola sampai ke Pulau Pandan, mereka yang terjebak di pulau itu tiada seorang pun yang selamat, seluruhnya gugur akibat keganasan panah beracun dari pasukan Nagur.
Keturunan Damanik yang selamat dari serangan Chola ini kemudian dikenal dengan Damanik Sola. Pulau Batu Beranak yang menjadi kediaman golongan Damanik Sola ini berada di seberang Pagurawan Kabupaten Batubara, dapat ditempuh dengan menggunakan kapal ferry. Sekarang pulau ini sudah tidak lagi berpenghuni hanya sejumlah pekuburan tua yang bisa kita saksikan di tempat ini.
Pada masa itu wilayah penyebaran keturunan Nagur sampai ke Pulau Berhala yang kini masuk Kabupaten Serdang Bedagai dan juga Pulau Pandan yang berada di sebelah utara Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batubara, kurang lebih 3 jam dari dermaga Tanjung Tiram.
Demikian juga Pulau Sembilan yang kini masuk daerah Perak Malaysia (Pulau Sembilan terdiri dari Pulau Rumbia, Lalang, Saga, Buluh, Samak, Nipis, Agas, Miskin dan Nyamuk), hingga Pulau Sarasan dekat Kalimantan yang kini masuk Kecamatan Natuna Kepulauan Riau. Pulau Sarasan inilah menjadi tempat pelarian golongan Damanik Sarasan sewaktu mereka diburu oleh para musuh Nagur.
Untuk menstabilkan kedudukannya, wilayah kekuasaan Nagur di sebelah hilir hingga Asahan diserahkan kepada panglimanya marga Saragih yang kemudian mendirikan Kerajaan Batangiou, peristiwa ini terjadi sekitar abad 12.
Raja Batangiou ini menikah dengan puteri Nagur dari keturunan Damanik Simargolang yang berkuasa di Tanjung Balai (Urung Balei) hingga Pulau Raja Asahan. Wilayah kekuasaan Batangiou ke barat berbatasan dengan Nagur, ke utara mulai dari Pamatang Tanoh Jawa sampai daerah Batu Bara dan ke timur berbatasan dengan Kerajaan Simargolang hingga ke Pantai, kerajaan ini memerintah selama sebelas generasi. (Tideman, 1922: 12).
Wilayah Nagur kian menyusut hanya mencakup Dolog Silou, Raya, Panei, Purba, dan Silima Huta (Moolenburg, 1909: 555) terus ke tanah Karo, sebagian tanah Pakpak, dan pesisir timur dari Tebing Tinggi sampai Langkat.
Brahma Putro dalam bukunya Karo Dari Jaman Ke Jaman mengemukakan, pada zaman dahulu di tanah Karo terdapat Kerajaan Nagur yang diperintah oleh marga Ginting Pase, yang berpusat di Kuta Pase dekat Sari Nembah Kecamatan Munte sekarang.
Kerajaan ini tunduk dibawah kekuasaan Nagur yang berpusat di Tiga Runggu, wilayah kekuasaannya meliputi sebelah selatan Lau Biang, dari Tongging sampai Kuta Bangun dan pegunungan Sampe Raya. Di daerah pusatnya di Simalungun, muncul penguasa baru yang melepaskan diri dari Nagur seperti Kerajaan Manik Hasian yang berpusat di Simanjoloi, Kerajaan Jumorlang di Jorlang Huluan, dan Kerajaan Riou (Amin Damanik & Jaramen Damanik, 1976 : 11).
Pada tahun 1275-1295, ekspansi politik Kerajaan Singosari melalui gerakan ekspedisi Pamalayu juga turut meluas ke kerajaan Nagur, namun tidak diketahui dengan pasti apakah pada masa itu sempat terjadi konflik antara bala tentara Singosari dengan rakyat Nagur.
Para pasukan Jawa berkoalisi dengan pasukan Dharmasraya Jambi yang dikomandoi Panglima Kebo Anabrang dan pembantunya Panglima Indrawarman seorang keturunan Melayu-Minangkabau, mereka memusatkan kedudukan di sekitar muara Sungai Asahan (Wibawa, 2001:14-15).
Sebelum bergerak ke Nagur, pasukan Indrawarman awalnya menaklukkan daerah Siak, Rokan, dan Kandis di Riau. Kemudian pada tahun 1289 baru perhatian mereka mengarah ke wilayah Andalas (Sumatera Barat), terus Mandailing, Panai, hingga sampai ke Asahan.
Pasukan mereka dibagi ke dalam beberapa divisi atau batalyon, sebagian tetap bertahan di Asahan, selebihnya menuju Haru, Kampai, Tamiang, Perlak, Samudera Pasai, dan Lamuri. Jejak-jejak daerah yang dilintasi oleh ekspedisi Pamalayu ini dicatat dengan lengkap pada kitab Negarakertagama (Desawarnana).
Di tengah mengemban tugas, di luar dugaan mereka di Singosari terjadi pemberontakan yang dilancarkan oleh Jayaktawang Raja Kediri dibantu puteranya Ardharaja yang menjadi menantu Kertanegara.
Peluang ini dimanfaatkan Jayakatwang untuk menggulingkan kedudukan Kertanegara karena pada saat itu sebagian besar senopati (panglima) dan pasukan-pasukan Singosari terlibat dalam ekspedisi Pamalayu, sehingga benteng pertahanan di lingkungan istana Singosari sangat lemah.
Mendengar pemberontakan yang terjadi, Kebo Anabrang lalu mengimbau sebagian besar pasukannya agar kembali ke pulau Jawa, Panglima Indrawarman diperintahkan agar tetap bertahan di Sumatera Timur guna menjaga stabilitas daerah-daerah koloni yang berhasil mereka taklukkan.
Kerajaan Pasai turut mengembangkan pengaruhnya ke Sumatera Timur, kelemahan Nagur dijadikan peluang untuk menyerang Nagur. Menghadapi invasi Pasai ini Nagur benar-benar kewalahan, sejumlah wilayah kekuasaan Nagur di bagian pesisir berhasil direbut.
Pada pertempuran ini panglima Nagur dengan keberaniannya terlebih dahulu memasuki wilayah Pasai, pasukannya tertinggal di belakang, akibatnya pasukan Pasai dengan mudah mengalahkan panglima Nagur, dia kemudian terdesak sampai ke jurang di tepi laut dan terjerumus ke dalamnya.
Pasukan Pasai mengira dia sudah mati, namun ternyata dia masih hidup, mereka lalu pergi meninggalkannya. Untuk menyelamatkan dirinya panglima ini kemudian meniup Salohap untuk mengundang sekelompok hewan agar datang membantunya, tidak lama kemudian datanglah seekor penyu yang membawanya ke tepi pantai, kambing hutan membawanya dengan mendekapkan tubuh sang panglima pada perutnya, dan ular sawa melilitnya lalu membawanya ke atas bukit.
Sesampainya di bukit, seekor biawak juga datang membantu untuk menunjukkan jalan, kemudian disusul seekor harimau membawanya melewati para musuh, dan terakhir seekor burung tuldik yang bertugas mengacaukan perhatian para musuh agar jejak panglima tersebut tidak diketahui.
Berkat jasa besar yang diberikan sekelompok hewan ini sehingga mendasari keturunan Nagur dari golongan Damanik Malayu dipantangkan memakan penyu, kambing hutan, ular sawa, biawak, harimau, dan burung tuldik.
Setelah berhasil selamat, perang kembali meletus namun tidak berselang lama, pihak Nagur dan Pasai memutuskan berdamai, pada masa inilah salah seorang keturunan Nagur ikut serta ke Pasai mendampingi perjalanan mereka.
Panglima Nagur ini kemudian menikah dengan puteri Pasai dan membentuk pemerintahan baru di sekitar Bireuen meluas hingga ke Pidie yang tunduk pada Pasai.
Panglima Nagur yang berangkat ke Aceh ini adalah keturunan dari panglima Nagur yang berperang melawan pasukan Raja Chola tahun 1025 di Pulau Batu Beranak. Keluarganya menitipkannya di Sokkur dan lahir di sana, akhirnya dia juga tumbuh menjadi seorang panglima menghadapi pasukan Pasai.
Berbeda dengan penjelasan Nurdin Damanik dan Kadim Morgan Damanik, keduanya mengatakan di tengah pergolakan antara Nagur dan Pasai, salah seorang keturunan Nagur yang dikenal dengan Marah Silou pergi mengundurkan diri ke arah selatan Nagur yaitu Tapanuli Selatan menunggu keadaan aman.
Dia berencana ingin mendirikan Kerajaan Nagur kembali, tetapi tidak berhasil karena keadaan di Selat Malaka tidak stabil, di mana terjadi perebutan kekuasaan antara Sriwijaya dan Haru sehingga tidak memungkinkan beroperasinya pelabuhan Sang Pang To di Perdagangan.
Dia lalu pergi melanglangbuana ke Aceh, di hulu sungai Pasai daerah Pidie dia membentuk pemerintahan baru yang tetap berinduk pada Kerajaan Nagur yang ada di Simalungun (1200-1285).
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara karangan HM Zainuddin (1961) disebutkan pada tahun 1394 M Laksama Pasai yaitu Rabath Abdul Kadir Syah dari Nagur di Pedir (Pidie) melakukan kudeta dan menyerang Pasai, dia berhasil membunuh Sultan Zainal Abidin Malik Az-Zahir.
Laksamana Nagur ini kemudian menggantikan kedudukan sebagai penguasa Samudera Pasai bergelar Maharaja Nagur Rabath Abdul Kadir Syah, dia memerintah selama enam tahun (1394-1400).
Raja inilah yang berjasa mempertahankan Samudera Pasai ketika diserang oleh Majapahit tahun 1377-1378. Akibat gejolak ini, sejumlah keturunan bangsawan Pasai yang enggan tunduk dibawah kekuasaannya kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju pesisir barat Aceh, di tempat ini mereka mendirikan sebuah pemukiman bernama Kuala Daya.
Ali Hasjmy dalam bukunya berjudul "Wanita Aceh" selanjutnya mengisahkan, sang laksamana Nagur ini kemudian dibunuh oleh perwira bawahannya, Syahbandar Pasai bernama Arya Bakoy.
Setelah membunuh Laksamana Nagur, dia lalu meminang janda Sultan Zainal Abidin Malik-Az-Zahir dan menjadi ayah tiri Ratu Nahrasiyah Rawangsa Khadiyu. Keberadaan Nagur di Aceh ini pertama kali diteliti oleh Gerrit Pieter Rouffaer (1860-1920), menurutnya Nagur di Aceh termasuk bagian dari Nagur di Simalungun.
Pasca runtuhnya Pasai tahun 1521 Masehi oleh serangan Portugis, Kesultanan Aceh bangkit dan berniat menguasai wilayah Sumatera Timur. Bangsa Portugis datang pertama kalinya ke nusantara dan berhasil menaklukkan Malaka tahun 1511, kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya kolonialisasi Eropa di kawasan nusantara.
Pada masa inilah, Kerajaan Nagur melakukan kontak perdagangan dengan Portugis. Pada tahun 1539 untuk pertama kalinya Aceh melancarkan gerakan reunifikasi ke seluruh Sumatera Timur, sasaran ekspansinya di antaranya Nagur.
Pada peperangan ini, Portugis turut mengerahkan bala tentaranya membantu Nagur dan juga menyediakan persenjataan dan amunisi.
Sebagaimana hasil dokumentasi Ferdinand Mendez Pinto yang sudah diuraikan di atas, pihak Aceh sempat mengalami kekakalahan menghadapi kekuatan pasukan Nagur yang bersenjatakan panah beracun.
Namun kemenangan ini tidak berlangsung lama, karena bala bantuan dari Turki dan Minangkabau datang membantu memperkuat pasukan Aceh. Wilayah Nagur yang berada di Aceh berhasil diduduki, yaitu Jakur dan Lingua.
Akibat mengalami kekalahan yang sangat berat, Nagur kemudian menyerah dan dengan resmi mengaku tunduk pada Aceh. Sejak itu Aceh sepenuhnya menguasai wilayah Sumatera Timur.
J. Tideman dalam bukunya "Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra" hal. 52-53, dia mengisahkan tentang salah seorang raja Nagur yang sangat gemar bermain catur. Di mana ketika dia terjebak dalam peperangan dan musuh sudah mendekat, bahkan sudah diperingatkan akan ancaman musuh tetapi dia tetap memperhatikan permainan caturnya. Hanya ungkapan “syah...syah” yang keluar dari mulutnya. Ketika musuh menyerbu bentengnya, dia akan dibunuh apabila tidak menyerahkan batangan emas hasil judinya. Demi keselamatannya, hasil judi tersebut kemudian dia serahkan kepada pihak musuh sehingga mereka saling berebut untuk mendapatkannya, di tengah kondisi ini dia pergi meloloskan diri.
Dari sini diketahui bahwa permainan catur sudah lama dikenal orang Simalungun, pada zaman dahulu untuk memindahkan potongan-potongan buah catur diserahkan kepada para budak.
Di seberang Bah Sawa menjulang Gunung Datas, sekelompok bukit dengan puncak daratan, gunung ini menjadi saksi bisu kisah permainan catur antara Tuan Batangio dan Tuan Silo Malaha dari Nagur. Keduanya sepakat bermain catur di Buntu Parsaturan dekat Gunung Datas.
Pada hari yang disepakati mereka bertemu, masing-masing disertai anak buah yang berjumlah cukup banyak. Dalam permainan ini, keduanya mempertaruhkan 12 orang budak, dalam sehari hanya tiga atau empat kali mereka melakukan permainan bahkan pernah juga hanya dua atau tiga kali.
Tanpa disadari, permainan ini berlangsung satu tahun lamanya dan Tuan Silou Malaha akhirnya kalah dibuat Tuan Batangiou. Tetapi Tuan Silou Malaha tidak terima atas kekalahan itu, dia tidak mau membayar taruhan kepada Tuan Batangiou justru dia kembali ke Silou Malaha di dusun Bahal Gajah dekat Siantar.
Tuan Batangiou kemudian berusaha meminta ganti rugi lewat sejumlah warga Silou Malaha dan membawa mereka ke Batangiou. Karena tidak menemukan penyelesaian, akibatnya meletuslah perang.
Tuan Batangiou memiliki Bodil Pamuras (sejenis senjata api dengan Tunam, bahan pembuat mesiu yang banyak ditemukan di makam kaum bangsawan Simalungun).
Peperangan ini berlangsung selama setahun, kuda Tuan Batangiou terluka parah dan menjadi pincang. Karena itu tempat ini disebut Huda Sitajur, ketika musuh mendekati benteng Tuan Batangiou, Huda Sitajur sudah tidak bisa lagi berfungsi seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, seorang budak bernama Si Jalak Lenteng membawa kuda buruan bernama “Huda Bunga-Bunga”. Bersama kuda ini dia membawa lari Tuan Batangiou ke Siantar, namun keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka berhasil tertangkap dan terbunuh.
Sebelum kematiannya, Si Jalak Lenteng terus berusaha menembaki musuh dengan Bodil Pamuras, meskipun senjata itu tidak berisi peluru maupun mesiu, namun dengan penuh keberanian dia berteriak “Dengar kami, kami masih memiliki sedikit mesiu dan juga peluru. Apabila ada yang maju, mereka akan tertembak; dia tidak akan bersuara kecuali bumi yang memiliki tubuhku dan angin memiliki jiwaku, hanya nyamuk yang datang dan rayap yang merayapiku, saya akan mati bila waktunya tiba”.
Di tengah kericuhan itu, warga Batangiou lantas memilih meninggalkan kampung mereka termasuk penduduk yang mendiami Gunung Datas menuju Onggo Sipoldas Panei.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Kerajaan Nagur adalah salah satu kerajaan kuno yang pernah berjaya di Aceh dan Sumatra Utara yang diperintah secara dinasti oleh golongan marga Damanik dari suku Simalungun.
Hingga hari ini belum diketahui secara pasti kapan berdirinya kerajaan ini, namun yang pasti pada abad 6 kerajaan ini sudah mengadakan kontak perdagangan dengan Tiongkok.
Eksistensi Nagur selalu mengemuka dari zaman ke zaman hingga masuknya era kolonialisme Belanda, perjalanan sejarahnya secara apik direkam oleh para penjelajah dan pengelana asing sehingga pemberitaan mengenai Nagur hingga hari ini dapat kita ketahui.
Ditambah adanya tradisi lisan mengenai Nagur yang berkembang di kalangan masyarakat Simalungun semakin memperkokoh keyakinan kita akan eksistensi kerajaan ini.
Daftar Pustaka:
- Battuta, Ibnu. Travels in Asia and Africa, 1325-1354. Translated by H.A.R. Gibb. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. 1957
- Damanik, Amin dan Damanik, Jaramen. Sidamanik (Turiturianni Oppung Nai Horsik). Pamatang Siantar: 1976
- Damanik, Jahutar. Jalannya Hukum Adat Simalungun. Pematang Siantar: PD Aslan. 1977
- Dunn, Rose E. Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad ke-14. Edisi 1. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1995
- Groeneveldt, W.P. Nusantara Dalam Catatan Tionghoa. Jakarta: Komunitas Bambu. 2009
- Mills, J.V.G. Ying-yai Sheng-lan: The Overall Survey of the Ocean's Shores 1433. Cambridge: Cambridge University Press. 1970
- Muljana, Slamet. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS. 2006
- Parlindungan, M.O. Tuanku Rao. Yogyakarta: LKIS. 2007
- Pinto, F.M. The Voyages and Adventures of Ferdinand Mendez Pinto, (English translation by Henry Cogen). London: J. Macook. 1692
- Purba, M.D, Letkol. Lintasan Sejarah Kebudayaan Simalungun. Medan: 1986
- Purba Tambak, T.B.A. Sejarah Simalungun. Pematang Siantar: HKBP. 1984
- Putro, Brahma. Karo Dari Jaman Ke Jaman, Jilid I. Medan: Yayasan Massa. 1981
- Tideman, J. Simeloengoen: het land der Timoer-Bataks in zijn vroegere isolatie en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied van de Oostkust van Sumatra. Leiden: van Doesburg. 1922
- Vlekke, Bernard H. M. Nusantara a History of the East Indian Archipelago. Cambridge: Harvard University Press. 1943.
- Zainuddin, H.M. Tarich Aceh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
0 Komentar