PIMRED : ROBBY OCTORA ROMANZA (WARTAWAN UTAMA)

6/recent/ticker-posts
"SEBAR LUASKAN INFORMASI KEGIATAN DAN PROMOSI USAHA ANDA DISINI"

Inovatif Untuk Bela Negara Indonesia

Realitas Awal


Oleh : Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo
(Danrem 032/Wirabraja)

Tanamonews.com | Kiranya tak ada yang tidak pernah mendengar istilah generasi milineal. Sering juga disebut generasi Y. Para peneliti sosial, seperti dari laporan Pew Research Center (2010), mengatakan bahwa generasi milineal adalah kelompok yang eksis dan hidup di era sekarang, yang jika dihitung dari tahun kelahiran, berkisar antara 1980-an sampai 2000. Untuk Indonesia sendiri diperkirakan populasinya mencapai 34,45%. Sebuah kuantitas generasi yang luar biasa dan sekaligus calon pemimpin di masa datang.

Ciri khas generasi ini adalah lahir dan besar dalam dunia teknologi, terutama teknologi informasi. Kelompok ini punya karakteristik cenderung tidak punya keterikatan yang kuat dengan pendahulunya. Sangat wajar, mereka tidak mengalami bagaimana beratnya perjuangan membangun sebuah negara, tidak mendapat informasi yang jelas, pada beberapa sisi justru sangat kelebihan informasi. Mereka tidak paham dan jelas tidak mengalami pengorbanan dan berdarah-darahnya ketika negara ditegakkan. Sejarah masa lalu hampir pasti tidak mengidap secara nyata di aliran darah mereka. Tahu tapi tidak menjiwai. Mereka lebih fokus pada kondisi kekinian dan tantangan-tantangan masa depan.

Hadirnya generasi milineal, mau tidak mau berpengaruh besar pada lingkungan ekternal strategis. Tidak hanya Indonesia, seluruh dunia juga mengalami hal sama. Ini disebabkan karena generasi ini akan menjadi penentu kehidupan sebuah negara di masa depan. Mereka inilah yang nantinya, dimasa depan, akan menjadi calon-calon pemimpin di negara ini. Oleh karena itu, kelompok ini akan menjadi sasaran, target, dan objek yang disasar, baik konteks ekonomi, termasuk konteks “penguasaan” sebuah negara. Istilah proxy war menjadi relevan dalam melihat ini.

Proxy war secara konseptual diartikan sebagai perang non senjata konvensional, tetapi memiliki pengaruh besar dalam melemahkan dan menguasai negara. Sasarannya adalah penguasaan negara lain dari berbagai aspeknya. Perang jenis ini kerap kali tidak dilakukan oleh negara pelaku, tetapi memanfaatkan kelompok lain sebagai prajuritnya. Pola-pola konspirasi dikembangkan, intrik dilakukan, teknologi jadi andalan, dan akhirnya negara itu menjadi lemah atau paling tidak menjadi ketergantungan pada negara lain.

Generasi milineal kerap kali, tanpa disadari, menjadi objek dari Proxy war ini. Lemahnya pengetahuan tentang kebangsaan, keIndonesiaan, dan kemudian keterikatan dengan semangat nasionalisme, adalah salah satu indikasi penting. Oleh karena itu, generasi milineal mesti waspada dan bagi generasi lain, wajib untuk memberikan formula-formula penting agar benteng nasionalisme pada generasi milineal tetap kokoh.

Aspek bela negara, sebagaimana tercantum dalam pasal 27 dan pasal 30 UUD 1945, sudah tegas mengatakan itu, bahwa upaya pembelaan negara adalah tekad, sikap, dan tindakan setiap warga negara secara teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan pada Pancasila dan UUD 1945 demi keutuhan dan kemajuan NKRI. Tanggung jawab ini pada semuanya, termasuk unsur generasi kekinian yang pada saatnya nanti akan meneruskan estafet negara ini.
Efek Negatif

Gelombang generasi Y, yang sebenarnya adalah gelombang perubahan sosial di seluruh dunia, yang ditandai dengan lompatan teknologi informasi, pada beberapa sisi mau tidak mau telah menyebabkan terjadinya berbagai ekses negatif. Dalam beberapa hal, ini sebenarnya lebih pada ketidaksiapan negara penerima dan kemudian dimanfaatkan untuk upaya penguatan negara lain. 

Bagi Indonesia sendiri, beberapa hal yang bisa diidentifikasi sebagai ekses negatif adalah sebagai berikut.

1. Negara jadi open acces

Ini konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Teknologi satelit dan internet, menyebabkan semua pihak bisa mengakses dan kemudian menyebarluaskan informasi suatu negara, termasuk Indonesia. Akses terbuka menjadi kenyataan, walaupun proteksi tetap dilakukan, tetapi kekuatan teknologi informasi, mau tidak mau menyebabkan informasi sebuah daerah sulit untuk ditutupi. Ini menjadi ekses negatif, karena kuncinya adalah penguasaan teknologi, pengemasan dan distribusi informasi. Semua bisa tahu apa yang ada dalam sebuah negara, sumber daya alam yang dimiliki, masalah yang dihadapi, dan berbagai informasi strategis lainnya, tanpa harus hadir secara fisik di negara tersebut. 

2. Modal sosial tergerus

Terhadap realitas teknologi yang terus berkembang, masuk dan menjadi pengetahuan utama bagi generasi kekinian, mau tidak mau berpengaruh pada jalinan hubungan sosial dan pengetahuan sosial budaya mereka. Ini konsekuensi yang juga menjadi sangat kentara. Modal sosial adalah kekayaan lokal yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman bertahun-tahun sebuah masyarakat, yang kemudian menjadi kekuatan utama bagi penjagaan keutuhan masyarakat setempat. Dalam wujudnya, modal sosial tampak dari tradisi gotong royong, ikatan kekerabatan, silaturrahim, kepedulian sosial, dan berbagai bentuk kearifan lokal lainnya. Hal ini dengan kuat digeser oleh realitas teknologi, sehingga lahirlah generasi yang mengedepankan sisi praktis, hedonis, dan individual. Kita menjadi mudah tidak peduli dengan tetangga, kita menjadi jauh dari istilah Dunsanak. 

3. Menguatnya mass culture/budaya massa

Budaya massa adalah jenis budaya yang sangat dipengaruhi oleh terpaan media massa termasuk media sosial. Ciri khas budaya ini adalah cepat berubah, kekinian, dan tidak memiliki basis yang kuat. Yang menonjol adalah sikap hedonisme dan konsumerisme. Budaya ini membentuk generasi yang disebut generasi instan, kurang melihat proses, senang dengan apa yang dicapai saja. Teknologi berpengaruh besar terhadap penguatan jenis budaya ini. Inilah generasi yang banyak berperan saat ini, yaitu generasi-generasi yang kiblatnya adalah pada tayangan dan publikasi di media, cenderung kepada kesenangan duniawi semata.

4. Jati diri dan nasionalisme jadi taruhan

Terhadap efek-efek negatif di atas, akumulasinya akan berdampak negatif terhadap kepribadian dan pemahaman kebangsaan. Ini akan menjadi sebuah konsekuensi logis, karena asupan informasi demikian beragam, yang semuanya didominasi oleh informasi yang mendorong pada pendangkalan jati diri. Taruhannya adalah jati diri dan rasa nasionalisme di kalangan anak muda. Bagi yang tidak memiliki basis pengetahuan yang kuat dan basis ideologi yang teguh, niscaya akan muncul sikap-sikap menganggap Indonesia itu hanya samar samar. Kecintaan dan kepercayaan terhadap Indonesia menjadi rendah.

Tampak jelas bahwa kemunculan generasi milineal dengan sokongan teknologi tinggi memiliki ekses yang harus diperhatikan dengan baik. Kesadaran terhadap ekses negatif ini penting, setidaknya akan menghindari kita dari keterlenaan budaya hedonisme memabukkan yang dibawanya.
Kondisi Yang Perlu Disadari

Terhadap berbagai dampak negatif dan perkembangan yang terjadi, maka beberapa hal yang diperlukan untuk dipahami bersama adalah sebagai berikut.

1. Kekuatan Utama era Disruptive adalah Teknologi

Teknologi informasi adalah kata kunci pada era disruptive ini. Tanpa teknologi, gagasan dan kecanduan pada berbagai aspek memabukkan tersebut, tak bisa disebarluaskan. Oleh karena itu, keduanya merupakan dua sisi mata uang. Semakin kuat perkembangan teknologi informasi, maka semakin kuat pula perubahan generasi menjadi generasi milenial. Perubahan sosial yang besar di negara maju seperti AS, Jepang dan Eropa, selalu dimulai oleh perkembangan teknologi. Di masa lalu, munculnya gelombang revolusi industri yang hakekatnya adalah teknologisasi berbagai aspek kehidupan manusia, adalah momentum awal perubahan generasi yang ada.

2. Teknologi muncul karena kreatifitas

Saat Steve Jobs mengembangkan Apple Inc., dan kemudian menjadi produsen komputer pribadi ternama, kekuatan utama bagi dirinya adalah kreatifitas dan kemampuan untuk melihat perkembangan yang ada. Begitu juga saat Samsung berhasil mengalahkan kejayaan Nokia, kata terpenting adalah kreatifitas dan keberanian mengambil peluang. 

Teknologi tidak akan bisa dihindarkan. Ini konsekuensi dari realitas dunia global, dimana tidak ada sekat-sekat antar sebuah negara. Persoalannya sekarang adalah siapa yang memegang kendali atas teknologi, atau lebih tepatnya, siapa yang menjadi objek dan subjek? Hal ini terpulang pada daya kreatifitas sebuah masyarakat. Sejak era revolusi industri hingga berlanjut pada masa selanjutnya, inti kekuatan teknologi adalah soal kreatifitas. Teknologi hanya bisa berkembang jika ada kreatifitas. Ini akan menentukan apakah sebuah masyarakat hanya akan menjadi objek sasaran perkembangan teknologi atau menjadi produsen dari proses yang ada. Mungkin ini akan berhubungan dengan dorongan politik, kebijakan dan sebagainya, tetapi kata kunci pertama adalah kreatifitas.

3. Kreatifitas teknologi dimanfaatkan untuk melemahkan sendi-sendi sosial dan budaya di masyarakat.

Pada posisi masyarakat sebagai subjek, maka kreatifitas teknologi akan sangat mudah dimanfaatkan untuk melakukan intervensi pada sistem sosial budaya di masyarakat. Perubahan sosial budaya terjadi karena adanya intervensi teknologi informasi dan aspek lainnya. Contoh konkrit adalah bagaimana teknologi informasi dalam bentuk penggunaan telepon seluler yang sekarang booming versi android, menggerus kepedulian sosial dan hubungan individu dan sosial di masyarakat. Maraknya penyebaran hoax, fitnah, caci maki, hujatan melalui media sosial adalah bentuk nyata gerusan teknologi pada aspek etika di masyarakat. Kita kemudian kehilangan ruh kebersamaan dan tepo seliro yang berkembang selama ini.

Tiga hal di atas penting disadari, karena hal tersebut menerpa semua elemen kehidupan di masyarakat. Kesadaran pada aspek tersebut menentukan bagaimana perlakuan yang diberikan terhadap perubahan dan perkembangan teknologi informasi tersebut. 

Dari hal di atas tampak bahwa dahsyatnya perkembangan teknologi, memberikan dampak yang sangat signifikan bagi kehidupan bermasyarakat, tak terkecuali berbangsa dan bernegara. Jika tidak pintar dan tidak mau mengambil posisi, maka bisa jadi pada saatnya nanti harga diri berbangsa dan bernegara akan tergadaikan oleh desakan teknologi informasi. Borderless state adalah realitas yang sudah terjadi, tak usah lagi berdebat soal ini. Pertanyaannya adalah dimana posisi kita?

Sekali lagi, kreatifitas dan inovasi adalah kata penting dalam mensikapi perkembangan teknologi informasi. Kisah sukses Steve Jobs, Samsung, Toyota, dan berbagai brand terkenal lainnya adalah bukti penting terhadap hal itu. Teori-teori modernisasi dan pembangunan di awal-awal pasca perang dunia II juga menunjukkan bagaimana kedigjayaan barat berhasil membentuk konsep negara sentral dan negara peri-peri, dimana barat dijadikan pusat sementara negara lain sebagai sasarannya. Muncullah konsep yang memisahkan antara negara barat/maju dengan negara berkembang, negara dunia I dan dunia III, dan berbagai istilah lainnya. Intinya adalah, penguasaan dengan memanfaatkan teknologi dan sumber daya yang ada.

Kita percaya bahwa teknologi adalah free value, teknologi adalah benda mati. Tetapi teknologi diciptakan untuk membawa pesan tertentu. Saat Martin Cooper menciptakan telepon genggam pertama kali tahun 1973, mungkin ia tidak berpikir bahwa ini akan dimanfaatkan untuk ajang propaganda, intrik, fitnah dan sebagainya. Dipikirannya mungkin hanya bagaimana agar ini bisa digunakan untuk mempermudah hubungan antar manusia. Tetapi, kreatifitas berikutnya menunjukkan bahwa telepon genggam telah merambah kemana-mana. Teknologi bebas nilai, tetapi aplikasinya oleh manusia akan menentukan apakah ini akan digunakan untuk hal baik atau tidak. Persis sebagaimana Einstein menciptakan formula yang kemudian berkembang menjadi senjata pembunuh massal di dunia.

Oleh karena itu, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama pada konteks generasi milineal saat ini, kreatifitas harus terus didorong dan dimaksimalkan. Inovasi harus terus diciptakan. Jangan mematikan kreatifitas, karena disitulah kematian sebagai umat manusia juga akan terjadi. Tetapi kreatifitas dan inovasi seperti apa yang seharusnya bisa dilakukan? Saya katakan disini, basisnya adalah NASIONALISME, ke-Indonesiaan.

Nasionalisme yang dipahami disini bisa diterjemahkan sebagai semangat dan jiwa kebangsaan, memiliki pemahaman yang kuat bahwa kita adalah Indonesia dan apapun tindak tanduk kita adalah untuk Indonesia. Sekecil apapun tindakan yang dilakukan harus disadari bahwa itu adalah representasi dari KeIndonesiaan. Nasionalisme berada pada titik ini, yaitu, KITA ADALAH INDONESIA. Saat ini dipahami maka apapun kreatifitas dan inovasi yang dilakukan, harusnya berbasis dan berorientasi pada semangat membangun dan memperkuat Indonesia.

Indonesia bukan sekedar jejeran pulau dari Sabang sampai Merauke. Indonesia adalah terepresentasi pada Wawasan Kebangsaan, yang artinya semua yang ada dan terdapat di jajaran Nusantara ini adalah Indonesia, baik manusianya, alamnya, hutannya, lautan, udara, dan apapun itu, adalah realitas dan kondisi yang harus kita jaga dan lindungi bersama. Kreatifitas dan inovasi juga harus diarahkan pada perlindungan dan penjagaan terhadap keutuhan semuanya, karena itu adalah prasyarat Indonesia. Pikiran kita, pikiran anak bangsa haruslah liar dan selalu gelisah sebagai modal dasar munculnya inovasi. Tetapi luar dan gelisahnya tersebut harus diikat dalam satu visi kebangsaan.

Syarat Dasar

Guna mencapai yang dimaksud dengan kreatifitas dan inovasi berbasis visi kebangsaan maka beberapa syarat dasar kiranya harus dipenuhi. Saya mencoba melakukan identifikasi sesuai dengan kacamata bela negara dan ketahanan nasional.

1. Naluri (Paham Benar Salah)

Generasi milenial sekarang harus mengembalikan sisi kemanusiaan mendasar yaitu kekuatan naluri. Tekanannya adalah sisi dalam diri yang menekankan pada aspek pemahaman benar atau salah. Dalam bahasa lain sering disebut dengan aspek etika, tetapi saya lebih cenderung mengatakan naluri karena etika lebih kepada ajaran moral. Naluri lebih kepada sisi manusianya. Sifat dasar yang harus jadi panutan sehingga bisa membedakan aspek kebenaran dan kesalahan. Tahu buruk dengan baiknya, tahu efek dari yang dikerjakan. Ini menjadi dasar untuk bertindak, sehingga inovasi yang dillakukan akan mengarah pada sisi kemanusiaan.

2. Agresif (Mau Berkorban) 

Inovasi yang dilakukan bisa jadi akan berdampak pada berbagai hal, termasuk dirinya sendiri. Seorang inovator kebangsaan yang baik akan rela menempatkan kepentingan bangsa dan negara, kepentingan masyarakat banyak di atas kepentingan dirinya. Oleh karena itu, sifat agresifnya tidak boleh dimatikan karena itu kunci penting bagi inovasi. Agresif ini harus didorong sampai pada keyakinan siap berkorban demi bangsa dan negara. Ini berguna untuk memperkuat sekaligus penanda bahwa nasionalisme itu ada ada dirinya. Agresifitas yang ditunjukkan bukan untuk memperkaya diri sendiri, tetapi untuk kepentingan seluruh orang.

3. Keputusan (Berani Ambil Resiko)

Sifat agresif, kemudian diimplementasikan dengan sikap berani mengambil keputusan pada posisi apapun. Seorang inovator adalah seorang yang berani beresiko, siap mengambil keputusan dan siap dengan segala konsekuensinya. Pengalaman Steve Jobs yang sempat keluar dari Apple dan kemudian masuk lagi, adalah contoh konkrit keberanian mengambil keputusan. Sikap nasionalisme Bung Hatta yang berani berseberangan dengan Bung Karno juga menunjukkan kemampuan mengambil putusan secara berani.

4. Idea (Paham Dan Kuasai Masalah)

Tentu saja semua sikap tersebut, agresif dan berani ambil resiko, harus didasari oleh kualitas ide yang kuat. Masalah harus dikuasai dulu, pahami siapa kita, sadari kemampuan kita, dan berusaha untuk berbenah diri. Tanpa paham dengan masalah, anda akan kalah sebelum berperang. Tanpa sadar masalah, kita akan selamanya menjadi anak bangsa konsumen teknologi. Pahami masalah, berarti paham dengan segala Lingkungan Strategis yang mengitari kita. Inovasi muncul karena adanya problem yang ingin dipecahkan.

Empat unsur di atas adalah syarat dasar yang harus dimiliki anak-anak muda milineal jika kita bicara soal bagaimana kebangsaan ini dipelihara dan dijaga. Kita tidak akan bisa menjadi apa-apa, tanpa punya sikap naluri kebangsaan yang kuat, agresifitas yang mumpuni, keberanian mengambil keputusan, dan kekuatan ide yang terus di asah.

Di atas semua itu, mari berbuat dan mari berbenah. Talk Less do More. Jadikan kebangsaan sebagai rantai pengikat, Pancasila sebagai benteng pertahanan dan NKRI sebagai wawasan bersama, setelah itu mari kita berinovasi dan kreatif. Peta jalan kita harus jelas, yaitu Indonesia, tinggal inovasi apa yang harus kita perbuat. Bela negara dengan inovasi, demi Indonesia selama-lamanya.

Posting Komentar

0 Komentar





Selamat datang di Portal Berita, Media Online : www.tanamonews.com, atas nama Redaksi mengucapkan Terima kasih telah berkunjung.. tertanda: Owner and Founding : Indra Afriadi Sikumbang, S.H. Tanamo Sutan Sati dan Pemimpin Redaksi : Robby Octora Romanza